Rabu, Februari 03, 2010

Love dan Forgiveness di Persimpangan Sosial


Menelisik kompleksitas kehidupan manusia yang serba multi dimensional dan ekses yang dihasilkan dari proses dialektika kehidupan baik berupa peradaban sebagai bentuk manifesto maupun berupa penghancuran sampai pada titik terendah kemanusiaan adalah bukti begitu paradoksnya makhluk yang bernama manusia.
Sudah menjadi sunnatullah (hukum alam) bahwa proses kehidupan manusia itu berpasang-pasangan, ada  siang-malam, baik-buruk, terang-gelap, marah-gembira, konflik-damai dan begitu seterusnya. Equilibirium atau keseimbangan di alam semesta memiliki dialektika yang terus menerus berjalan antara keteraturan (cosmos) dan ketidakberaturan (chaos). Ritme kehidupan ini akan saling berganti, mengisi dan memberikan value bagi terbangunnya epistimologi, karena setiap manusia punya keunikan tersendiri dalam menangkap pesan dari ritme kehidupan yang terjadi, maka konflik epistimologi sangat mungkin terjadi. Dari sini akar dan persoalan manusia dimulai yaitu perbedaan apapun bentuknya. (Amin Abdullah: 2010:2)

Dari perbedaan yang sudah alamiah itu, manusia seperti yang sering disebut sebagai zoon politicon (makhluk sosial) tidak dapat melepaskan diri dari orang lain, dalam pengertian yang lebih luas satu individu membutuhkan atau ketergantungan terhadap individu lain untuk saling memenuhi kebutuhan. Sejarah menceritakan bukti bahwa manusia selalu membangun interaksi, pada saat yang bersamaan pula tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan baik material (fisik) dan immaterial ( nilai: value) dan proses interaksi kerap dan selalu menimbulkan problem dan konflik. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa dari era tradisional hingga modern dari zaman dahulu hingga kini, saling ketergantungan antar individu dan konflik yang menyertainya selalu seiring sejalan.
Interaksi dan komunikasi antar individu yang rentan terhadap perbedaan sebagai basis  awal konflik telah menjadikan individu meneguhkan identitas kolektif sebagai bentuk penegasan perbedaan, paradigma berpikir bahwa ‘kami’ dan ‘mereka’  adalah bentuk kesenjangan identitas diri, bahwa ada perbedaan yang esensial antara kami dan mereka. Sementara identitas ‘kita’ sering sulit dibangun manakala berbagai entitas perbedaan seperti bentuk fisik, idiologi, agama, etnis dan kepentingan mengalami benturan.
  Benturan berbagai entitas akan menjadikan konflik dan ketegangan menemukan eskalasi dan intensitasnya dalam berbagai pase kehidupan, akhirnya akan menyebar ‘virus’ anti perbedaan berupa kebencian, ketidakrelaan, ketidakterimaan atas identitas orang lain yang berbeda. Virus anti perbedaan yang menyerang paradigma, pemikiran akan mengarah pada tindakan, kekerasan, intimidasi, dan penekanan baik fisik maupun psikis.
Tindakan kekerasan yang menimbulkan ‘trauma historis’ dalam waktu yang lama kerap menyisakan ‘prejudice’ (prasangka) bagi pihak-pihak terkait khususnya konflik kekerasan agama dan etnis. Prejudice inilah yang mampu mengkaitkan satu persoalan dengan persoalan yang lain, misalnya persoalan ekonomi dikaitkan dengan persoalan agama. Ini terbukti konflik agama, etnis berawal dari persoalan ekonomi dan menguat menjadi konflik agama karena sensitivitas dan emosi keagamaan ikut terlibat didalamnya.
Sejarah manusia yang berdarah-darah dengan konflik dan kekerasan apapun bentuknya baik karena persinggungan berbagai entitas itu terjadi karena adanya ruang sosial yang menjadi tempat bertemunya berbagai entitas perbedaan. Kemudian tidak mampu dikelola secara arif dan bijaksana, di era sekarang ini harus diperkecil eskalasi dan potensinya. Untuk itulah peradaban baru relasi dan interaksi berbagai entitas tersebut khususnya antar agama di ruang sosial harus dibangun sedemikian apik untuk menentukan bagaimana masa depan kehidupan keagamaan dimasa yang akan datang.
Ruang sosial yang menjadi tempat bertemunya antar individu sekaligus pertemuan berbagai entitas perbedaan yang dimiliki oleh setiap individu akan terjadi persinggungan, persentuhan dan sangat mungkin benturan. Kompromi dan common sense antar perbedaan sangat diperlukan untuk menjadi landasan filosifis hidup bersama dalam ikatan kebhinekaan yang mampu menajdi sumber inspirasi penyelesaian ketika gesekan, konflik atau benturan terjadi diruang-ruang sosial tersebut.
Dua kata kunci yang menjadi bangunan filosifis common sense dalam ruang-ruang sosial tersebut adalah mengasihi (love) dan pemaafan (forgiveness). Kedua kekuatan atau nilai-nilai filosofis itu sudah menjadi watak, sifat dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, tentunya bukan saja nilai-nilai tersebut yang terdapat dalam diri manusia, akan tetapi juga sifat-sifat sebaliknya, seperti sifat marah, benci dan lainnya.
Pertama: Seseorang berat untuk memaafkan orang lain, karena kejadian yang dialaminya sangat traumatis.
Kedua: Seseorang berat memaafkan orang lain karena berpikir bahwa pelaku harus menerima hukuman yang berat bahkan lebih berat dari hukum positif yang berlaku
Ketiga: Seseorang berat untuk memaafkan orang lain, karena pelaku tidak pernah meminta maaf atas kesalahannya.
Keempat: Seseorang berat untuk memaafkan orang lain, karena dikiranya memaafkan itu akan membebaskan orang lain dan merugikan diri sendiri.
Kelima: Seseorang berat untuk memaafkan orang lain, karena ia berpikir bahwa kerugian yang dialaminya tidak dapat ditebus dengan cara apapun
Ketika seseorang merasa berat untuk memberikan maaf kepada orang lain, ia memperoleh berbagai kerugian.
 Pertama: Hati dipenuhi emosi negatif seperti dendam, marah, dan benci kepada orang lain yang dipersepsinya merugikannya
Kedua: Hati yang dipenuhi energi negatif akan mengarahkan individu untuk berkata-kata yang destruktif, baik dalam bentuk rerasan, pengungkapan kemarahan di depan publik, maupun hujatan.
Ketiga: Hati yang dipenuhi energi negatif akan mengarahkan individu untuk berperilaku yang destruktif bagi diri sendiri maupun orang lain.
Bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai love dan forgiveness dalam ruang sosial yang syarat dengan berbagai persoalan karena adanya berbagai perbedaan yang menyertainya, inilah hal penting untuk diketahui bahwa kekuatan nilai tersebut sangat luar biasa bagi terciptanya ruang sosial yang sehat dan konstruktif bagi keberlangsungan pemenuhan hidup manusia itu sendiri.
Generasi muda sebagai agent of change adalah pilar utama untuk merubah bagaimana paradigma berpikir antar individu khususnya antar umat beragama ketika terjadi perjumpaan di ruang sosial dapat berubah, perubahan itu tentunya untuk kemampuan memanajemen sikap dan tindakan ketika perjumpaan diruang sosial tidak selalu baik, bisa saja gesekan dan konflik dikarenakan pebedaan entitas maupun kepentingan.
Ketika perbedaan sudah jelas terlihat apapun bentuknya, jurang kepentingan sangat jauh dan tidak lagi dapat dikompromikan dan gesekan, benturan dan konflik pun tidak dapat dielakan maka nilai-nilai filosofis atau common sense yaitu love (mengasihi) dan forgiveness (pemaafan) sangat urgen dibutuhkan untuk meredam ketegangan dan kekisruhan, ini karena tidak mungkin ruang sosial selalu dipenuhi dengan konflik dan permusuhan. Disinilah letak kekuatan nilai mengasihi (love) dan pemaafan (forgiveness) dalam ruang-ruang sosial.
Kerja intelektual kaum muda dengan berbagai identitas perbedaan yang bergerak pada penciptaan ruang sosial yang sehat dan konstruktif melalui pengembangan sikap saling mengasihi dan permafaan sebagai modal membangun kehidupan sosial yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan setiap individu sangat menentukan dimasa mendatang karena perjumpaan berbagai perbedaan individu dan komunitas saat ini tidak dapat dihindari lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar