Menelisik kompleksitas kehidupan manusia yang serba multi
dimensional dan ekses yang dihasilkan dari proses dialektika kehidupan baik
berupa peradaban sebagai bentuk manifesto maupun berupa penghancuran sampai pada
titik terendah kemanusiaan adalah bukti begitu paradoksnya makhluk yang bernama
manusia.
Sudah menjadi sunnatullah (hukum alam) bahwa proses
kehidupan manusia itu berpasang-pasangan, ada siang-malam, baik-buruk,
terang-gelap, marah-gembira, konflik-damai dan begitu seterusnya. Equilibirium
atau keseimbangan di alam semesta memiliki dialektika yang terus menerus
berjalan antara keteraturan (cosmos) dan ketidakberaturan (chaos).
Ritme kehidupan ini akan saling berganti, mengisi dan memberikan value bagi
terbangunnya epistimologi, karena setiap manusia punya keunikan tersendiri
dalam menangkap pesan dari ritme kehidupan yang terjadi, maka konflik
epistimologi sangat mungkin terjadi. Dari sini akar dan persoalan manusia
dimulai yaitu perbedaan apapun bentuknya. (Amin Abdullah: 2010:2)
Dari perbedaan yang sudah alamiah itu, manusia seperti yang
sering disebut sebagai zoon politicon (makhluk sosial) tidak dapat
melepaskan diri dari orang lain, dalam pengertian yang lebih luas satu individu
membutuhkan atau ketergantungan terhadap individu lain untuk saling memenuhi
kebutuhan. Sejarah menceritakan bukti bahwa manusia selalu membangun interaksi,
pada saat yang bersamaan pula tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan baik
material (fisik) dan immaterial ( nilai: value) dan proses interaksi
kerap dan selalu menimbulkan problem dan konflik. Secara lebih tegas dapat
dikatakan bahwa dari era tradisional hingga modern dari zaman dahulu hingga
kini, saling ketergantungan antar individu dan konflik yang menyertainya selalu
seiring sejalan.
Interaksi dan komunikasi antar individu yang rentan terhadap
perbedaan sebagai basis awal konflik telah menjadikan individu meneguhkan
identitas kolektif sebagai bentuk penegasan perbedaan, paradigma berpikir bahwa
‘kami’ dan ‘mereka’ adalah bentuk kesenjangan identitas diri, bahwa ada
perbedaan yang esensial antara kami dan mereka. Sementara identitas ‘kita’
sering sulit dibangun manakala berbagai entitas perbedaan seperti bentuk fisik,
idiologi, agama, etnis dan kepentingan mengalami benturan.
Benturan berbagai entitas akan menjadikan konflik dan
ketegangan menemukan eskalasi dan intensitasnya dalam berbagai pase kehidupan,
akhirnya akan menyebar ‘virus’ anti perbedaan berupa kebencian, ketidakrelaan,
ketidakterimaan atas identitas orang lain yang berbeda. Virus anti perbedaan
yang menyerang paradigma, pemikiran akan mengarah pada tindakan, kekerasan,
intimidasi, dan penekanan baik fisik maupun psikis.
Tindakan kekerasan yang menimbulkan ‘trauma historis’ dalam
waktu yang lama kerap menyisakan ‘prejudice’ (prasangka) bagi
pihak-pihak terkait khususnya konflik kekerasan agama dan etnis. Prejudice
inilah yang mampu mengkaitkan satu persoalan dengan persoalan yang lain,
misalnya persoalan ekonomi dikaitkan dengan persoalan agama. Ini terbukti
konflik agama, etnis berawal dari persoalan ekonomi dan menguat menjadi konflik
agama karena sensitivitas dan emosi keagamaan ikut terlibat didalamnya.
Sejarah manusia yang berdarah-darah dengan konflik dan
kekerasan apapun bentuknya baik karena persinggungan berbagai entitas itu
terjadi karena adanya ruang sosial yang menjadi tempat bertemunya berbagai
entitas perbedaan. Kemudian tidak mampu dikelola secara arif dan bijaksana, di
era sekarang ini harus diperkecil eskalasi dan potensinya. Untuk itulah
peradaban baru relasi dan interaksi berbagai entitas tersebut khususnya antar
agama di ruang sosial harus dibangun sedemikian apik untuk menentukan bagaimana
masa depan kehidupan keagamaan dimasa yang akan datang.
Ruang sosial yang menjadi tempat bertemunya antar individu
sekaligus pertemuan berbagai entitas perbedaan yang dimiliki oleh setiap
individu akan terjadi persinggungan, persentuhan dan sangat mungkin benturan.
Kompromi dan common sense antar perbedaan sangat diperlukan untuk
menjadi landasan filosifis hidup bersama dalam ikatan kebhinekaan yang mampu
menajdi sumber inspirasi penyelesaian ketika gesekan, konflik atau benturan
terjadi diruang-ruang sosial tersebut.
Dua kata kunci yang menjadi bangunan filosifis common
sense dalam ruang-ruang sosial tersebut adalah mengasihi (love) dan
pemaafan (forgiveness). Kedua kekuatan atau nilai-nilai filosofis itu
sudah menjadi watak, sifat dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, tentunya
bukan saja nilai-nilai tersebut yang terdapat dalam diri manusia, akan tetapi
juga sifat-sifat sebaliknya, seperti sifat marah, benci dan lainnya.
Pertama:
Seseorang berat untuk memaafkan orang lain, karena kejadian yang dialaminya
sangat traumatis.
Kedua:
Seseorang berat memaafkan orang lain karena berpikir bahwa pelaku harus
menerima hukuman yang berat bahkan lebih berat dari hukum positif yang berlaku
Ketiga:
Seseorang berat untuk memaafkan orang lain, karena pelaku tidak pernah meminta
maaf atas kesalahannya.
Keempat:
Seseorang berat untuk memaafkan orang lain, karena dikiranya memaafkan itu akan
membebaskan orang lain dan merugikan diri sendiri.
Kelima:
Seseorang berat untuk memaafkan orang lain, karena ia berpikir bahwa kerugian
yang dialaminya tidak dapat ditebus dengan cara apapun
Ketika seseorang
merasa berat untuk memberikan maaf kepada orang lain, ia memperoleh berbagai
kerugian.
Pertama: Hati dipenuhi emosi negatif seperti dendam, marah, dan benci
kepada orang lain yang dipersepsinya merugikannya
Kedua:
Hati yang dipenuhi energi negatif akan mengarahkan individu untuk berkata-kata
yang destruktif, baik dalam bentuk rerasan, pengungkapan kemarahan di depan
publik, maupun hujatan.
Ketiga:
Hati yang dipenuhi energi negatif akan mengarahkan individu untuk berperilaku
yang destruktif bagi diri sendiri maupun orang lain.
Bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai love dan forgiveness
dalam ruang sosial yang syarat dengan berbagai persoalan karena adanya
berbagai perbedaan yang menyertainya, inilah hal penting untuk diketahui bahwa
kekuatan nilai tersebut sangat luar biasa bagi terciptanya ruang sosial yang
sehat dan konstruktif bagi keberlangsungan pemenuhan hidup manusia itu sendiri.
Generasi muda sebagai agent of change adalah pilar
utama untuk merubah bagaimana paradigma berpikir antar individu khususnya antar
umat beragama ketika terjadi perjumpaan di ruang sosial dapat berubah,
perubahan itu tentunya untuk kemampuan memanajemen sikap dan tindakan ketika
perjumpaan diruang sosial tidak selalu baik, bisa saja gesekan dan konflik
dikarenakan pebedaan entitas maupun kepentingan.
Ketika perbedaan sudah jelas terlihat apapun bentuknya,
jurang kepentingan sangat jauh dan tidak lagi dapat dikompromikan dan gesekan,
benturan dan konflik pun tidak dapat dielakan maka nilai-nilai filosofis atau common
sense yaitu love (mengasihi) dan forgiveness (pemaafan)
sangat urgen dibutuhkan untuk meredam ketegangan dan kekisruhan, ini karena
tidak mungkin ruang sosial selalu dipenuhi dengan konflik dan permusuhan.
Disinilah letak kekuatan nilai mengasihi (love) dan pemaafan (forgiveness)
dalam ruang-ruang sosial.
Kerja intelektual kaum muda dengan berbagai identitas
perbedaan yang bergerak pada penciptaan ruang sosial yang sehat dan konstruktif
melalui pengembangan sikap saling mengasihi dan permafaan sebagai modal
membangun kehidupan sosial yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan setiap
individu sangat menentukan dimasa mendatang karena perjumpaan berbagai
perbedaan individu dan komunitas saat ini tidak dapat dihindari lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar