Tahukah kita bahwa jumlah remaja
Indonesia yang berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30 persen dari
total penduduk Indonesia? Tahukah kita bahwa sekitar 15-20 persen dari remaja
usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah?
Tahukah kita bahwa 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap
tahunnya? Tahukah kita bahwa hingga Juni 2006 telah tercatat 6332 kasus AIDS
dan 4527 kasus HIV positif di Indonesia, dengan 78,8 persen dari kasus-kasus
baru yang terlaporkan berasal dari usia 15-29 tahun?
Tahukah kita bahwa diperkirakan
terdapat sekitar 270.000 pekerja seks perempuan yang ada di Indonesia, di mana
lebih dari 60 persen adalah berusia 24 tahun atau kurang, dan 30 persen berusia
15 tahun atau kurang? Tahukah kita bahwa setiap tahun ada sekitar 2,3 juta
kasus aborsi di Indonesia di mana 20 persen diantaranya adalah aborsi yang
dilakukan oleh remaja? Tahukah kita bahwa tidak kurang dari 6 persen remaja
usia 10-14 tahun tidak mendapatkan haknya untuk bersekolah dan terpaksa bekerja
untuk kelanjutan hidup mereka?
Remaja, Mitos dan Akses Sebenarnya
karakteristik dan perjalanan tumbuh kembang remaja tidak pernah berubah antara
generasi lalu dengan generasi sekarang. Masa remaja tetaplah merupakan suatu
fase pertumbuhan dan perkembangan antara masa anak dan masa dewasa. Dalam
periode ini pastilah terjadi perubahan yang sangat pesat dalam dimensi fisik,
mental dan sosial. Masa ini juga merupakan periode pencarian identitas diri,
sehingga remaja sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan. Umumnya proses
pematangan fisik lebih cepat dari pematangan psikososialnya. Karena itu
seringkali terjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan remaja sangat sensitif
dan rawan terhadap stres. Perkembangan fisik remaja dalam usia ini, juga
perkembangan kematangan seksualnya, mengalami perubahan yang sangat pesat dan
sudah seharusnya menjadi perhatian khusus bagi remaja. Keadaan ini merupakan
salah satu penyebab atau alasan bagi remaja untuk coba-coba bereksperimen
dengan aktivitas seks, termasuk juga mencoba menggunakan narkoba.
Sayangnya sering kali informasi yang
benar untuk remaja tidak didapatkan karena akses untuk itu memang tidak ada.
Kalaupun ada masih sedikit sekali yang bisa dengan mudah didapatkan oleh
remaja. Termasuk juga akses remaja untuk mendapatkan pelayanan terhadap
berbagai masalah yang dihadapinya. Seringkali malah remaja lebih terpapar
mitos-mitos yang justru semakin membuat remaja semakin tidak memiliki pegangan
untuk membentuk jati diri dan kemampuannya untuk mengambil keputusan yang
benar. Tentunya lemahnya mutu pendidikan dan belum meratanya kesempatan remaja
mendapatkan pendidikan yang layak juga menjadi sebuah permasalahan bagi bangsa
ini. Hal-hal seperti ini berkontribusi terhadap munculnya berbagai masalah pada
remaja. Kasus-kasus penyalahgunaan narkoba, hubungan seksual tidak aman,
infeksi menular seksual, HIV/AIDS, kehamilan remaja, kekerasan seksual adalah
contohnya.
Remaja dan HIV/AIDS Kini semakin
sering kita dengar remaja dihubungkan dengan kejadian HIV/AIDS. Hal ini
sangatlah masuk akal karena remaja dengan mobilitas dan interaksi di lingkungan
sosialnya sangat memungkinkan terjadi kontak dengan virus HIV dari
pergaulannya. Saat ini di dunia ada sekitar 10 juta remaja hidup dengan
HIV/AIDS. Pada saat yang sama remaja juga adalah kelompok paling potensial
sebagai sebuah pilihan untuk menjadi penggerak utama untuk berperan dalam
menurunkan angka kejadian infeksi baru HIV. Remaja saat ini juga sedang berada
dalam sebuah kegundahan situasi karena sekali lagi masih lemahnya akses akan
informasi tentang HIV/AIDS yang benar, tekanan dari pergaulan sebayanya,
ketidakmampuan mengkalkulasikan risiko, ketidakberdayaan dalam mengambil
keputusan termasuk menyatakan tidak buat narkoba, ketidaktahuan dalam
menjalankan aktivitas seks yang aman dan akses pelayanan yang terbatas terhadap
penggunaan kondom itu sendiri.
Secara global, hampir seperempat dari
mereka yang hidup dengan HIV adalah berumur kurang dari 25 tahun dan sepertiga
dari perempuan yang telah terinfeksi adalah berusia 15-24 tahun. Di Bali
sendiri hingga Juni 2007 tercatat kasus komulatif HIV/AIDS sebanyak 1508 orang.
Berdasarkan umur, kelompok umur 20-29 tahun masih menduduki posisi pertama
dengan 788 kasus (55 persen). Menyusul kemudian kelompok umur 30-39 tahun dan
15-19 tahun. Dari data ini ada sebuah hal yang menarik untuk disimak bahwa yang
terkena adalah kelompok usia produktif, yang bisa jadi prilaku berisikonya
sudah dilakukan sejak usia remaja sehingga sejak remaja pula sebenarnya
kemungkinan sudah tertular.
Hak Reproduksi dan Seksual Remaja Remaja memiliki
hak reproduksi dan seksual yang merupakan bagian dari hak aasi manusia. Ini
juga penting untuk disimak, karena belum banyak remaja dan orang dewasa yang
menyadari hal ini. Indonesia adalah salah satu dari 178 negara di dunia yang
telah ikut menandatangani rencana aksi dari Konferensi Internasional
Kependudukan dan Pembangunan (ICPD, Kairo, tahun 1994). Rencana aksi ICPD
mengisyaratkan bahwa “negara-negara di dunia didorong untuk menyediakan
informasi yang lengkap kepada remaja mengenai bagaimana mereka dapat melindungi
diri dari kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual dan
HIV/AIDS”. Dan pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009
menyatakan bahwa salah satu arah RPJM adalah meningkatkan kualitas kesehatan
reproduksi remaja. Kondisi ini memberikan kerangka legal bagi pengakuan dan
pemenuhan hak-hak reproduksi dan seksual remaja di Indonesia.
Ini dia hak-hak reproduksi dan seksual
remaja itu. 1) Hak untuk menjadi diri sendiri: membuat keputusan,
mengekspresikan diri, menjadi aman, menikmati seksualitas dan memutuskan apakah
akan menikah atau tidak. 2) Hak untuk tahu: mengenai hak reproduksi dan
seksual, kesehatan reproduksi dan seksual, termasuk infeksi menular seksual dan
HIV/AIDS. 3) Hak untuk dilindungi dan melindungi diri: dari kehamilan yang
tidak direncanakan, aborsi tidak aman, infeksi menular seksual, HIV/AIDS dan
kekerasan seksual. 4) Hak mendapatkan pelayanan kesehatan: secara bersahabat,
menyenangkan, akurat, berkualitas dan dengan menghormati hak remaja. 5) Hak
untuk terlibat: dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program
remaja, serta membantu dan memberi pengaruh kepada pemerintah dalam pembuatan
kebijakan tentang remaja.
Yang Tragis, yang Strategis Sudah jelas
sekali bahwa ketidakberuntungan posisi remaja sering kali membawa sebuah “hal
tragis” atau permasalahan sangat serius pada remaja. Seringkali dukungan dan
kepercayaan yang diharapkan untuk remaja justru tidak didapatkan dari pihak
orang dewasa, masyarakat dan bahkan pemerintah. Sering kali dalam wacana orang
dewasa, remaja dikontruksikan sebagai sekelompok manusia yang bermasalah bahkan
sumber masalah itu sendiri. Ini membuat remaja tidak berdaya atau enggan
untuk sekadar mau berdaya. Hal ini tentulah tidak akan bisa mendukung
akselerasi upaya-upaya penanggulangan permasalahan yang muncul di remaja.
Daftar pertanyaan di awal adalah contoh beberapa hal tragis yang menempatkan
remaja menjadi korban dari sebuah sistem yang kurang bisa peduli, memberdayakan
dan mendukung remaja.
Hal yang justru dan harus dikembangkan
adalah mengikis kekhawatiran orang dewasa akan ketidakmampuan remaja dalam
mengambil peranan. Remaja harus diberdayakan. Semua orang harus bisa
diingingatkan kembali betapa strategisnya posisi remaja. Jumlah remaja (usia
10-24 tahun) saat ini adalah sejumlah 65 juta jiwa, yang berarti sekitar 30
persen dari total penduduk Indonesia. Perlu digarisbawahi juga betapa
pentingnya remaja untuk diperhatikan pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksinya,
karena bila tidak dilakukan secara serius dan segera maka bisa jadi negara ini
akan makin terpuruk dengan permasalahan yang makin menumpuk yang dialami oleh
remaja kita, yang katanya calon generasi penerus negara dan bangsa ini.
Peran Remaja di Kampanye Milenium Dalam konsep
pembangunan dunia secara global yang disebut dengan Kampanye Milenium atau
Millenium Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh seluruh pimpinan
negara-negara di dunia disebutkan bahwa delapan permasalahan di dunia yang
perlu diatasi bersama adalah: 1) Kemiskinan dan kelaparan. 2) Kurangnya
pendidikan untuk anak dan remaja. 3) Ketidaksetaraan gender serta belum
terpenuhinya hak-hak perempuan dan remaja. 4) Kematian bayi. 5) Kurangnya
tingkat kesehatan ibu. 6) Permasalahan HIV/AIDS dan infeksi lainnya. 7)
Permasalahan lingkungan. 8) Kemitraan global.
Jadi dari sini terlihat bahwa
permasalahan yang terjadi di negara kita memang serupa dengan yang terjadi di
dunia global. Jadi konsep kampanye milenium ini juga sangat penting untuk
menyentuh permasalahan anak, remaja dan HIV/AIDS. Penanggulangan HIV/AIDS pada
dasarnya tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus secara bersama
dan komprehensif. Ini juga terutama untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi
terhadap remaja di mana hal ini juga masih sering menjadi penyebab
termarginalisasinya orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dari kehidupan mayarakat.
Bali perlu bersyukur sudah memiliki
Peraturan Daerah no. 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Tetapi untuk
pendekatan kepada kelompok remaja ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi.
Pertama, ada yang perlu kita ubah dulu
pandangannya. Kurang percayanya pihak pemerintah dan orang dewasa kepada remaja
itu sendiri. Karena mungkin secara usia dilihat kelompok remaja masih sangat
”hijau”. (Batasan remaja menurut WHO adalah 12-24 tahun, Depkes 10-19 tahun,
BKKBN 10-21 tahun, dan Youth Manifesto tahun 1998 menetapkan 10-24 tahun,
bahkan RUU kepemudaan mengusulkan usia 18-35 th untuk pemuda. Yang paling
sering dipakai adalah yang 10-24 tahun), dan secara psikologis juga sering kali
remaja dianggap kelompok yang masih bersifat transisi, belum mampu mengambil
keputusan sendiri. Ini semua tentu saja keliru dalam konteks penanggulangan
HIV/AIDS dan permasalahan seksualitas lainnya untuk remaja. Yang tepat adalah
remaja perlu didukung untuk mendapatkan akses dan kepercayaan sehingga mampu
mengambil keputusan yang bertanggung jawab, termasuk memberikan kesempatan
seluas-luasnya buat remaja untuk saling memberikan dukungan dan bersinergi
dengan remaja yang lain.
Kedua, kita semua harus ingat bahwa
seperti yang sempat disebutkan di atas, jumlah dan kelompok terbesar kasus
HIV/AIDS justru datang dari kelompok usia produktif dengan porsi terbanyak
adalah kalangan remaja. Bahwa besaran perkiraan angka kejadian HIV/AIDS yang
4000 kasus di Bali adalah diestimasikan berasal dari 1.300 kasus penyalahgunaan
narkoba suntik (yang kasusnya banyak menimpa remaja) dan 2.700 dari
perilaku seksual yang tidak aman (lagi-lagi juga banyak dialami oleh
remaja). Dalam konsep penanggulangan HIV/AIDS itu sendiri baik dari program
pendampingan maupun dari program pencegahan dikenal konsep pendampingan dan
pendidikan oleh kelompok antar remaja sebaya yang disebut dengan konsep
pendidik sebaya atau peer educator (PE). Ini sangat efektif untuk
dijalankan.
Penanggulangan HIV/AIDS di kalangan
remaja menjadi suatu hal yang penting dan strategis untuk dilakukan. Sekali
lagi, kurangnya pengetahuan, ketiadaan akses dan masih adanya bias gender serta
mitos-mitos yang berkembang di kalangan remaja adalah beberapa faktor yang
mengakibatkan epidemi tersebut berjalan cepat. Epidemi HIV/AIDS menjadi ancaman
global dan nasional karena pada kenyataannya jumlah kasus yang belum tercatat
jauh lebih besar. Perkiraan di Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan akan ada
sekitar 100.000 orang yang mengidap AIDS atau meninggal karena AIDS dan akan
ada sekitar 1.000.000 orang yang HIV positif.
Sudah saatnya remaja menjadi subyek dan
bukan lagi obyek yaitu dengan memberdayakan remaja dalam kegiatan pencegahan
terutama di kalangan sebayanya. Juga pelibatan remaja dalam advokasi kepada
para stakeholder makin perlu diperbesar kesempatannya untuk ikut meyakinkan
bahwa permasalahan ini harusnya mendapatkan perhatian dan suara remaja itu
sendiri harus didengar sebagai komponen penting dalam pengambilan kebijakan
untuk remaja. Bahkan beberapa strategi-strategi advokatif sanga perlu segera
direalisasikan.
Strategi advokasi yang bisa dimunculkan
adalah dengan jalan: 1) Memberdayakan remaja agar bisa menumbuhkan kesadaran
dan solidaritas bersama untuk bisa mendapatkan pengakuan, memperjuangkan
hak-hak remaja, terutama hak-hak reproduksi dan seksual remaja. 2) Mendesak
pemerintah agar bisa mengambil keputusan yang pro remaja dengan mengubah
regulasi, kebijakan, program dan anggaran agar bisa mendukung pemenuhan hak
informasi dan pelayanan HIV/AIDS pada remaja berdasarkan kebutuhan remaja. 3)
Melibatkan remaja dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan, implementasi
dan monitoring. 4) Mengembangkan akses informasi, pelayanan, konseling,
pendampingan dan pelayanan kepada remaja. 5) Meningkatkan kerjasama, koordinasi
dan jaringan dengan sektor swasta, LSM dan organisasi remaja, lembaga
pemerintah, organisasi profesi, lembaga donor. 6) Mendapatkan dukungan dari
masyarakat, lembaga lain terutama pihak media massa untuk melakukan advokasi ke
pemerintah dan pengambil kebijakan. 7) Memberdayakan remaja agar bisa
menumbuhkan kesadaran dan solidaritas bersama untuk bisa memperjuangkan hak-hak
remaja, terutama hak-hak reproduksi dan seksual remaja
Cara terbaik saat ini adalah dengan
mempersiapkan remaja untuk mampu melindungi diri dari risiko reproduksi yang
tidak sehat dan bahaya penyalahgunaan narkoba dengan memberikan informasi dan
keterampilan tentang bagaimana remaja dapat mempraktekkan perilaku reproduksi
yang sehat dan bertanggung jawab.
Edukasi lewat jalur intrakurikulum,
semikurikulum maupun ekstrakurikulum, terlebih lagi dengan diterapkannya
kurikulum berbasis kompetensi saat ini merupakan peluang yang sangat penting
guna mendorong pemberian informasi dan keterampilan untuk menerapkan perilaku
reproduksi yang sehat dan upaya pencegahan bahaya narkoba dan HIV/IDS di
sekolah. Berbagai pihak dapat diajak bekerja sama untuk mengembangkan model
pemberian informasi dan keterampilan tersebut. Dengan dikembangkannya kurikulum
terintegrasi HIV/AIDS, narkoba dan kesehatan reproduksi di sekolah di beberapa
kabupaten dan kota di Bali, serta pembentukan forum guru serta kelompok siswa
peduli AIDS dan Narkoba di sekolah-sekolah adalah sebuah langkah besar buat
upaya penanggulangan HIV/AIDS di remaja.
Beberapa program yang dilakukan di
beberapa sekolah melalui edukasi menggunakan modul berbasiskan teknologi
komputer juga akan dikembangan buat remaja sekolah, dan pengaktifan kelompok
sebaya remaja oleh berbagai LSM maupun lembaga pemerintah juga patut diacungi
jempol. Semua pihak diharapkan bisa berperan. Karena kemitraan adalah kata
kuncinya untuk bisa menggalang dukungan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk
melakukan pemberdayaan ini.
Youth International Day 2007 sebagai
Sebuah Momentum Remaja Masih belum banyak yang mengetahui tentang
keberadaan tanggal 12 Agustus sebagai Hari Remaja Internasional. Tanggal ini
ditetapkan sebagai Hari Remaja Internasional berdasarkan rekomendasi World
Conference of Ministers Responsible for Youth yang diselenggarakan di
Lisbon pada tahun 1999. Sejak tahun 2000 dan seterusnya hari Remaja
Internasional ini mulai dipromosikan sebagai sebuah momentum penting bagi
remaja terutama untuk peluang menggiatkan dan melibatkan remaja dalam upaya
mengentaskan berbagai permasalahan di dunia. Untuk di Indonesia sendiri secara
nasional baru diselenggarakan tahun 2005 yang lalu.
”Be Seen, Be Heard! Youth Participation in Development”
adalah besaran tema Hari Remaja tahun 2007 ini yang di Bali dilaksanakan oleh
KISARA, kelompok relawan remaja yang memiliki fokus kepedulian pada masalah
kesehatan reproduksi, seksualitas dan hak-hak remaja. Tahun ini KISARA
menuansakan temanya menjadi .”Be Seen, Be Heard! Ini Waktunya Remaja Peduli!”
Karena sudah sewajarnya apa yang ingin dicapai dalam MDGs pada tahun 2015 perlu
disosialisasikan dan dihadapi bersama-sama termasuk oleh remaja di dalamnya.
Dalam sepuluh tahun terakhir World Programme of Action for Youth (WPAY) menarik
kesimpulan bahwa remaja adalah juga komponen potensial dalam ikut berperan
dalam menyelesaikan permasalahan di dunia. Dan, sekali lagi, Hari Remaja ini
adalah salah satu bentuk momentum yang bisa dimanfaatkan untuk kepedulian,
pemberdayaan dan kebersamaan dengan remaja. Sosialisasi akan terus dilaksanakan
untuk bisa membuat momentum ini lebih banyak mendapat perhatian lagi dari
kalangan luas.
Terutama bisa berpartisipasi di
dalamnya dengan cara: 1) Tunjukkan bahwa anda bisa memberi support! Dukungan untuk
remaja kita. Dukungan buat HIV/AIDS. Termasuk bisa berpartisipasi aktif dalam
kepedulian dan event kepedulian terhadap anak, remaja dan HIV/AIDS. Untuk bisa
memberdayakan bersama anak, remaja dan AIDS. 2) Berkolaborasi! Secara
bersama-sama dalam sebuah tim.Baik itu pemerintah, NGO/LSM, kalangan swasata,
akademisi dan yang terpenting bisa mengajak remaja untuk berperan aktif untuk
fokus dan ikut serta di dalamnya. 3) Adakan kegiatan! Bisa dengan berkumpul
membuat forum, kelompok donatur, diskusi publik dan remaja, seminar, serta
kampanye untuk membagi-bagikan informasi positif. 4) Ikut merayakan! Kalaupun
belum terasa gregetnya di masyarakat, marilah bisa bareng ikut memulai untuk
merencanakan dan merayakan event-event kepedulian kepada remaja dan HIV/AIDS.
5) Bantuan media.
Mereka pelaku
media atau yang memiliki akses ke media juga diharapkan dukungan positifnya
untuk mensupport kegiatan kepedulian ini. Untuk bisa memberikan perhatian dan
kewaspadaan yang lebih progresif lagi di bidang ini.
Beberapa agenda memang telah
disinergikan dengan Hari Remaja ini. Misalnya program kampanye Lentera- sebuah
program sosialisasi HIV AIDS di radio dan beberapa media selama bulan Agustus
ini bertemakan tentang AIDS, remaja dan Hari Remaja. Beberapa kegiatan lain
yang juga bernafaskan kepedulian dengan remaja di bulan Agustus ini adalah
kegiatan renungan dan sosialisasi Hari Remaja serta aksi lapangan. Beberapa
kegiatan lain yang juga bernafaskan kepedulian dengan remaja di bulan Agustus
ini adalah talkshow khusus hari remaja di radio dan TV, sosialisasi di media
cetak, aksi jalanan dan kegiatan launching data survey remaja dan kepedulian
artis di hari remaja (Nanoe Biroe dan Baduda Idolnya memilih tidak mengikuti
Soundrenaline dan akan menyumbangkan sebagian hasil penjualan kasetnya untuk
anak-anak yang terdampak HIV AIDS, aksi pita hijau (simbul kepedulian remaja),
edukasi seks ke remaja sekolah, dll.
Jadi Jawabannya Apa? Sekali lagi,
banyak pekerjaan rumah yang memang harus diselesaikan bersama-sama untuk remaja
kita. Kalau boleh jujur untuk menjawabnya, saat ini remaja kita memang sedang
ada dalam keadaan tragis bila kita mau menginventaris data dan fakta yang
menjadi permasalahan remaja. Bahkan kalau kita tidak segera berbuat sesuatu
bersama-sama, angka-angka permasalahan remaja akan semakin meningkat. Dan ini
menjadi lebih tragis lagi.
Tapi kita juga harus optimis bahwa remaja
merupakan aset potensial sangat strategis sebagai komponen yang memiliki peran
kuat dan solutif bagi permasalahan di negeri ini bila kita mau memanfaatkannya.
Bagaimana pun dan atas dasar apa pun tidak ada ruang untuk menolak pengakuan
dan pemenuhan hak-hak remaja. Bagaimana pun juga masa depan Indonesia akan
dipegang oleh 62 juta orang remaja kita. Dan bagaimana nasib 62 juta remaja ini
di masa datang sangat ditentukan dari apa yang kita periapkan untuk mereka hari
ini. Generasi yang memiliki pendidikan dan kesehatan yang baik akan menjadi
sumber daya yang potensial untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Sebaliknya, jika mereka sakit dan tidak terdidik maka akan menjadi beban negara
yang sangat berat.
Tiga pertanyaan besar untuk direnungi
bersama adalah: Sudahkah kita peduli kepada remaja? Sudahkah kita mendukung
remaja? Sudahkah kita sayang remaja?
Sebenarnya, apa sih masalah yang sering membuat gundah
remaja???? Kalau ditanya, banyak yang hanya
mendelikkan mata, angkat bahu atau menggelengkan kepala. Entah karena malas
untuk dipikirkan atau pun terlalu rumit untuk dijawab. Tapi secara umum, ada
beberapa hal jika diuraikan :
1. Problem dengan teman Remaja sering dipusingkan dengan teman-teman sendiri. Di satu pihak mereka sangat butuh teman untuk jadi tempat curhat, ketawa ketiwi, rame bareng, main, gaul, atau jadi kebanggaan tersendiri kalau bisa gabung dengan teman-teman itu. Tapi di lain pihak, teman-teman yang sama bisa jadi persoalan ketika mulai ada ketidaksamaan yang sulit dijembatani tanpa menipu diri
2. Problem cinta Jatuh cinta tidak selalu berjuta rasanya, karena banyak lika liku yang dihadapi. Jangan anggap remeh urusan patah hati, karena moment itu bisa membuka pintu berbagai persoalan yang selama ini ditekan, disembunyikan, diabaikan, dsb. Dengan catatan, jika di masa sebelumnya, remaja sudah punya persoalan tersendiri yg kompleks tapi di-repress habis.
3.Problem akademik Setiap remaja pasti ingin naik kelas, bahkan kalau bisa jadi juara. Tapi tidak mudah dapat nilai baik, selain pelajarannya sulit, disiplin diri lebih sulit lagi. Bellum lagi kalau banyak tugas kelompok dan tugas praktikum bagi yang sudah di SMU atau kuliah.kompetisi di sekolah, bisa menjadi motivator namun ada yang menganggapnya sebagai ancaman.
4. Problem dengan orang tua dan anggota keluarga lain Generation gap membuat komunikasi anak dengan orang tua sering on off bahkan kurang nyambung. Beda perspektif, beda pendapat, beda kesenangan, beda kebiasaan, dsb. Selain itu, remaja sering bersitegang dengan orangtua, merasa kurang dimengerti dan terpaksa nurut karena takut. Belum lagi jika orangtua atau anggota keluarga lain yg serumah mengalami masalah berat sampai berpengaruh pada yang lain.
5.Problem
diri sendiri Remaja sering
bingung dengan diri sendiri. Keinginan banyak, realisasi kurang.remaja juga
sering bertanya, “kenapa kok aku beda dengan dia?” “Kenapa aku selalu nggak PD
?” “Kenapa sih aku selalu berubah-ubah? Kenapa emosiku tidak stabil?” Dan masih
banyak persoalan yang berakar dari dalam diri. Mekanisme Pertahanan Diri
Tentu tidak mudah
menangani problem 5 dimensi. Jangankan remaja, orang dewasa sekalipun banyak
yang tidak sukses mengelola problem-problem tersebut. Tidak jarang, cara-cara
yang dilakukan untuk mengatasi problem malah menimbulkan problem baru.
Krisis dan masalah sering membuat perasaan kita jadi tidak enak, gelisah, sedih, marah, dsb. Hampir dipastikan ada reaksi spontan dari dalam diri untuk mengatasi ketidaknyamanan itu. Mulai dari tindakan ringan sampai ekstrim. Masalahnya, apakah tindakan itu menyelesaikan masalah, atau sekedar mengobati perasaan; atau keduanya, atau tidak keduanya – alias, tidak menyelesaikan masalah dan tidak juga mengobati perasaan.
Krisis dan masalah sering membuat perasaan kita jadi tidak enak, gelisah, sedih, marah, dsb. Hampir dipastikan ada reaksi spontan dari dalam diri untuk mengatasi ketidaknyamanan itu. Mulai dari tindakan ringan sampai ekstrim. Masalahnya, apakah tindakan itu menyelesaikan masalah, atau sekedar mengobati perasaan; atau keduanya, atau tidak keduanya – alias, tidak menyelesaikan masalah dan tidak juga mengobati perasaan.
Beberapa cara yang umum dilakukan saat
remaja mengalami krisis :
- Makan, nonton, jalan-jalan
- Mengurung diri and do nothing, hanya melamun, menangis, mengkhayal
- Marah-marah, berantemin orang-orang dan melampiaskan emosi pada orang lain atau pada benda-benda di sekelilingnya
- Makin gencar ollah raga dan aktivitas fisik lainnya, seperti renang, tennis, lari, bersepeda, naik gunung, martial art, dsb
- Tidur
- Curhat dengan teman,sms, fb-an, menelpon sana sini
- Baca buku, prakarya (artcraft), main musik, ciptain lagu dan syair, bikin puisi, menggambar, membuat kue, memasak, berkebun, menulis buku harian, dsb
- Beres-beres dan bersih-bersih
- Merokok
- Mabuk-mabukkan dan menggunakan narkoba
- Mengurus hewan peliharaan
- Mengurus / utak atik mekanik mobil, motor atau mesin atau bahkan bikin perabotan kecil-kecilan
- Self-sabotage /sabotase diri, seperti tidak makan, tidak mau belajar, tidak sekolah/kuliah, tidak mau mandi, dsb
- Pornografi dan gameografi
Masih banyak reaksi tindakan lain, namun
kalau dikategorikan sebenanrnya hanya ada 2 macam : destruktif atau
konstruktif. Yang destruktif jelas merugikan diri sendiri dan sudah tentu
merepotkan orang lain; sebaliknya, yang konstruktif memberikan efek positif
paling tidak bagi diri sendiri. Emosi surut, ada hasil yang bisa dinikmati
pula, apalagi jika orang lain juga kena manfaatnya.
Masalahnya, tidak semua
remaja bisa punya cara konstruktif. Jaman sekarang ini, kegiatan positif
seperti mengerjakan hobi dan ketrampilan, sepertinya sudah banyak ditinggalkan,
dan diganti dengan hang out untuk sekedar jalan-jalan, nonton, gossip, main
game dan on line game, browsing internet, atau tidur-tiduran. Tanpa sadar,
miskinnya kegiatan ini membuat remaja bukan saja jadi malas, tapi jadi nggak
percaya diri ketika berhadapan dengan masalah.
Tentu saja
mereka-mereka ini mudah panik dan cemas, takut dan bingung kalau tiba-tiba kena
masalah. Biasanya, mereka mencoba mengandalkan bantuan teman-teman; ya kalau
punya teman. Celakanya kalau tidak punya teman, mau bicara sama siapa? Mau
minta tolong sama siapa? Yang punya teman pun belum tentu problemnya bisa beres
karena teman-teman mereka kebanyakan berkebiasaan yang sama. Makan, nonton,
jalan, shopping, gossip, gaming, nongkrong..solusi apa yang bisa muncul dari
situ? Hiburan sesaat mungkin ya, tapi bukan solusi. Bahkan kalau dipikir
panjang, kebiasaan-kebiasaan itu kan
mahal, butuh biaya. Jadi bisa kebayang, kalau reaksi tindakan tersebut bakal
tidak efektif selain mahal, juga tidak memberi jalan keluar.
Sementara,
remaja-remaja yang punya kebiasaan dan kegiatan konstruktif, menyalurkan emosi
dan keresahan pada kegiatannya tersebut. Secara psikologis, ketika emosi
tersalur dengan cara dan media positif, tidak sekedar membantu menenangkan
pikiran, meredakan ketegangan dan menurunkan stress. Kegiatan konstruktif
justru membantu otak membuka kebuntuan-kebuntuan alternatif. Dikala emosi
disalurkan dan dikelola secara positif, otak tetap aktif bekerja sehingga
sering kita menemukan jawaban atas pertanyaan diri, menemukan insight atas
masalahnya, melihat makna dan tujuan, bahkan melihat beberapa alternatif jalan
keluar yang bisa dicoba. Maka, lain halnya, kalau badan dan otak di pasif-kan. Apa
akibatnya kalau masalah dibiarkan berlarut-larut?
Beberapa keluhan yang
sering dialami remaja, seperti sulit konsentrasi, kehilangan motivasi dan
semangat, nilai pelajaran turun, dijauhi teman, makin suka mengkhayal dan berfantasi,
terlibat hubungan homoseksual atau lesbian, kecanduan minum atau drugs,
pornografi, onani/masturbasi, depresi, hingga terlibat tindakan yang bisa
membahayakan jiwa dirinya seperti ingin bunuh diri atau membahayakan orang
lain, seperti agresi. Masalahnya, dengan tidak melakukan apa-apa, masalah tetap
ada bahkan bertambah kompleks karena ketambahan masalah harian lain. Nah, kalau
sudah begini, tentu saja remaja merasa masalah lebih besar dari dirinya. Remaja
makin merasa terbeban, tertekan, inferior dan stress. Kerentanan ini lah yang
menyebabkan remaja gampang sekali kena bujuk entah ikut kelompok radikal atau
terjerumus dalam tindakan melanggar hukum, serta terjerat lingkaran narkoba.
Menghadapi pertanyaan orang tua, terutama, menjadi masalah yang luar biasa besarnya. Remaja jadi kian sensi jika orang tua mulai khawatir dan sering memberi wejangan. Yang sering terjadi, remaja merasa orang tua tidak mau mengerti, sementara orang tua merasa anaknya tidak mau terbuka. Komplit sudah masalahnya!
Menghadapi pertanyaan orang tua, terutama, menjadi masalah yang luar biasa besarnya. Remaja jadi kian sensi jika orang tua mulai khawatir dan sering memberi wejangan. Yang sering terjadi, remaja merasa orang tua tidak mau mengerti, sementara orang tua merasa anaknya tidak mau terbuka. Komplit sudah masalahnya!
Mencari jalan keluar Hubungan
yang pura-pura baik (karena seolah terlihat harmonis di luar), lebih sering
mengalami jalan buntu ketimbang jalan keluar, karena sama2 memaksakan kehendak
dan jalan pikirannya sendiri-sendiri, teori dan asumsi masing-masing. Pun jika
ada salah satu pihak yang mengalah dan nurut, motivasinya untuk menghindari
pertengkaran dan resiko lain. Jadi, bukan menyelesaikan masalah, tapi menunda
masalah dengan cara mendem jero, atau di repress. Nurutnya remaja dengan cara
mendem jero, sangat tidak sehat bagi remaja itu sendiri dan hubungan dengan
orang tua maupun teman-teman
Selain memendam beban
perasaan kesal, sakit hati, kecewa, remaja juga memendam keinginan, ide-ide
yang kalau dieksplorasi bisa membawanya pada solusi betulan, yang dibutuhkan; bahkan
bisa membuatnya jadi kuat karena menemukan identitasnya lewat
pengalaman-pengalaman ketika krisis.Tapi karena tidak berani menyatakan sikap
dan mengambil resiko, pilihan untuk submisif dan nurut adalah yang termudah.
Setelah beberapa waktu berlalu, bisa berminggu, berbulan atau bertahun, baru
terlihat kalau ternyata masalahnya tidak selesai dan mentalitas sang remaja
malah makin lemah karena makin tidak berdaya dan makin tergantung pada orang
lain, tidak berani berinisiatif dan bereksplorasi.
Keadaan ini bisa lebih
parah jika remaja tidak punya hak bicara dan menyatakan pendapat. Tapi tidak
selamanya begitu, ada juga remaja yang sudah diberi hak apapun, tetap tidak mau
dan malas berinisiatif dan berusaha karena takut susah, takut salah dan takut
sakit (emotional pain). Kondisi yang pertama, bisa membuat remaja kian
frustrasi, stress, depresi, bahkan mengalami problem psikologis atau jadi
apatis dan fatalistik. Kondisi kedua, membuat remaja malas, juga apatis,
pathetic, depresi bahkan bisa jadi antisosial. Bayangkan saja, dilimpahi segala
macam, tanpa diharuskan bertanggung jawab atas setiap tindakannya. Remaja jenis
ini, menggadaikan freedom and liberty – menurut istilah Erich Fromm, “escape
from freedom”, menggadaikan kemerdekaan jiwa demi kenyamanan semu. Inilah yang
membuat jiwa ‘mati selagi hidup’.
Oleh karenanya,
keterbukaan adalah pintu gerbang untuk berbagai alternatif solusi yang
tersedia. Remaja sering merasa ‘tak punya pilihan lain’ padahal karena memang
belum pernah atau tidak mau menengok ke sudut lain. Ada juga yang begitu lantaran tidak pernah
diajarkan dan di encourage untuk mencoba menjalani hidup dan memandang diri
sendiri dengan cara yang berbeda dari kebiasaan. Jadi, bayangkan saja jika
hidup remaja hanya diwarnai dengan 2 hal hitam putih, buruk baik, susah atau
enak, begini atau begitu, bagaimana remaja tidak gampang stress dan frustrasi
kalau ketimpa krisis?
Apa yang bisa dilakukan remaja jika dirinya mengalami
masalah?
1. Diskusikan dengan orang yang tepat Teman tidak selalu pihak yang tepat, apalagi jika hanya mengkonfirmasi hal-hal yang ingin di dengar. Teman seperti ini, hanya menambah pikiran dan beban emosional, tapi belum tentu punya solusi. Carilah orang yang mungkin saja punya pendapat dan jalan pikiran yang beda. Perbedaan itu membuat otak berpikir kritis dalam membaca persoalan, sehingga sedikit demi sedikit diperoleh gambaran yang obyektif akan apa yang sebenarnya terjadi. Cara ini membantu menentukan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan.
Hanya, ada catatan
penting, bahwa pola ini efektif membawa hasil jika ada kerendahan hati untuk
mau mengakui dan bisa melihat sikap/tindakan diri sendiri yang menyebabkan
terjadinya masalah. Sikap defensive, membuat apapun saran dan tawaran solusi,
mental. Sebaliknya, sikap defensive, baik itu berupa keengganan menerima
kritik, malu kalau kelihatan kurangnya, sehingga menutup diri atau diam-diam
saja seolah tidak terjadi apa-apa, membuat masalah tidak selesai, meski dengan
berlalunya waktu. Waktu tidak menyelesaikan persoalan.
2. Lakukan tanggung jawab kita Tanggung jawab harian kita, adalah obat mujarab bagi setiap persoalan. Tanpa kegiatan, energy stuck, pikiran buntu, emosi membludak, kecemasan meningkat, kecurigaan dan pikiran negatif bertambah. Jadi, apa yang harus dilakukan, lakukanlah sebaik mungkin, seoptimal mungkin, bukan demi orang lain, tapi itu adalah anak tangga menuju jalan keluar dan kunci memelihara stamina mental serta memberikan therapeutic effect. Jadi, jangan hindari apalagi hentikan kegiatan yang jadi tugas kita dengan dalih ‘sedang tidak mood’.
2. Lakukan tanggung jawab kita Tanggung jawab harian kita, adalah obat mujarab bagi setiap persoalan. Tanpa kegiatan, energy stuck, pikiran buntu, emosi membludak, kecemasan meningkat, kecurigaan dan pikiran negatif bertambah. Jadi, apa yang harus dilakukan, lakukanlah sebaik mungkin, seoptimal mungkin, bukan demi orang lain, tapi itu adalah anak tangga menuju jalan keluar dan kunci memelihara stamina mental serta memberikan therapeutic effect. Jadi, jangan hindari apalagi hentikan kegiatan yang jadi tugas kita dengan dalih ‘sedang tidak mood’.
3. Jalani hobi dan kegiatan positif Seperti uraian di atas, menekuni hobi adalah kegiatan nurturing our soul. Melepaskan tekanan, mengelola emosi dan menenangkan batin. Kita bisa berdialog dengan diri sendiri dan bahkan mendengarkan petunjuk bijak Tuhan, justru saat asik mengerjakan hobi.
4. Berinisiatif untuk mencari solusi dan realisasikan dalam tindakan Bergerak dan mengusahakan sekecil apapun tindakan, akan membawa perbedaan besar. Meskipun usahanya mentok, bukan berarti gagal, malah memberi pengetahuan baru bahwa perlu cara lain untuk melangkah berikutnya
5. Membuka diri, mau melihat sisi lain Ibarat belajar, jangan hanya membaca dari 1 buku atau 1 orang dan menganggap itu satu-satunya yang paling baik dan benar. Coba cari teori dan penjelasan lain tentang masalah yang dihadapi, bisa dengan bertanya pada profesional yang accessible, baik secara langsung maupun tak langsung (lewat email/internet) banyak web site yang menyediakan informasi yang dibutuhkan remaja untuk membantunya memahami, apa sih yang sebenarnya terjadi.
6. Membuka akses komunikasi yang baru Membuka jalur-jalur komunikasi yang baru, merintis jalur kegiatan baru dan membuka diri terhadap orang-orang yang punya kepribadian positif. Remaja bisa banyak belajar dari orang-orang yang jauh lebih matang dalam kepribadian dan pengalaman; karena orang-orang itu juga pernah jadi remaja dan mengatasi kompleksitas kehidupan mereka saat itu.
7. Merubah kebiasaan Tanpa sadar, banyak dari kebiasaan dan rutinitas yang malah memacetkan pertumbuhan kedewasaan dan penemuan diri. Rutinitas memang membuat nyaman, tapi jadi tidak sehat kalau kita takut merubah kebiasaan hanya karena takut kehilangan kenyamanan atau cemas menghadapi ketidakpastian dari sesuatu yang baru.
8. Berhenti meracuni diri sendiri Banyak orang yang ketika sedang emosional, punya kebiasaan meracuni diri sendiri. Merokok, minum, narkoba, bahkan overeating atau malah tidak mau makan sama sekali, adalah tindakan meracuni diri. Tidak hanya itu,entertaining asumsi buruk, kecurigaan terhadap orang lain, berpikir negative tentang diri sendiri, memendam marah, sakit hati, sedih, benci dan iri, adalah bentuk lain dari meracuni diri. Berbagai hal itu perlu di kelola dan di buang dengan cara yang tepat dan sehat, supaya tidak berdampak negative buat diri sendiri maupun orang-orang di sekeliling kita. Istilah kerennya, GIGO – garbage in, garbage out. Kalau yang dimasukkan buruk, maka yang keluar juga buruk, pikiran buruk akan menghasilkan tindakan buruk, tindakan buruk akan menghasilkan reaksi buruk dari sekeliling. Mulailah bertindak selektif, kalau tidak positif – ya untuk apa di lakukan kalau nantinya hanya merugikan diri sendiri, apalagi orang lain
9. Berpikir Positif Prinsip yang harus di yakini, bahwa selama hidupnya, manusia pasti menghadapi masalah karena dari masalah kita belajar menjadi bijak, pandai dan dewasa. Jadi, krisis dan masalah bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari perjalanan, bekal dalam menempuh petualangan hidup. Carilah segi positif dari masalah yang sedang dihadapi, pasti ada manfaat di balik semua ini. Orang mengatakan “blessing in disguise”.
10. Bantulah orang lain! Setiap orang pasti punya masalah, berat ringannya tergantung persepsi dan kemampuan masing-masing. Kita suka menganggap masalah kita yang paling berat, padahal banyak masalah teman-teman dan orang di sekeliling kita yang punya masalah jauh lebih berat. Kita tidak tahu karena kita tidak cukup membuka diri terhadap mereka, menyediakan diri untuk memahami kehidupan mereka. Pikiran kita terfokus pada masalah kita sendiri sampai tidak tahu kalau ada teman yang kesusahan atau tetangga yang perlu bantuan. Nah, buatlah diri kita berarti bagi orang lain. Tidak usah harus menjadi pahlawan, lakukan saja apa yang semestinya dan bisa kita lakukan untuk meringankan beban hidup orang lain. Kita bahagia kalau kita bisa membantu orang lain. Bukankah kita hidup di dunia ini untuk bisa membawa kebaikan dan berkah bagi sesama?Meskipun masalah remaja begitu kompleks, namun di dunia ini juga sudah tersedia jawaban dan solusinya. Kuncinya, remaja perlu bereksplorasi dan proaktif dalam menempuh petualangan hidupnya. Ketakutan dan berbagai perasaan itu pasti ada, tapi jangan sampai dijadikan alasan untuk berhenti berjalan. Persoalan saat ini jangan menjadi akhir dari segalanya. Perjalanan hidup masih panjang, masih banyak petualangan menarik untuk dilalui. Pandai-pandai mengelola perasaan dan persoalan selama berpetualang, sementara jangan kehilangan focus ke masa depan. Teruslah melangkah dan nikmati setiap moment dalam hidup ini sebagai anugerah kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar