Negara maju tentunya tidak terlepas dari dunia pendidikan. Semakin tinggi
kualitas pendidikan suatu negara, maka semakin tinggi pula kualitas sumber daya
manusia yang dapat memajukan dan mengharumkan negaranya. Sebenarnya, tidak ada
perbedaan antara sumber daya manusia antara negara maju dan negara berkembang,
yang berbeda hanyalah cara mendidik sumber daya manusia itu sendiri. Hal ini
tentunya tidak telepas dari peran seorang guru. Hal yang terpenting namun sering
terlupakan dari seorang guru dalam mendidik siswanya adalah kejujuran. Bohong
adalah bibit korupsi, dan menyontek adalah perilaku korupsi kecil. Apakah
seorang guru yang membiarkan siswanya menyontek telah mendidik siswanya
berperilaku jujur? Lihatlah, banyak siswa yang menyontek demi nilai dan tugas
terpenuhi tanpa mengerti apa yang mereka kerjakan. Tidak sedikit pula para
siswa mengikuti tambahan pada guru mata pelajaran tertentu demi mendapatkan
nilai bagus. Banyak guru yang tidak menerangkan, meremehkan siswanya,
membiarkan siswanya tidak bisa, mengajarkan siswanya bahwa nilai dapat dibeli
dengan uang, dan perilaku yang sering terjadi pada saat siswanya menghadapi UN,
yaitu tidak percaya akan kemampuan siswanya.
UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen dan diikuti PP
No. 74 Tahun 2008 tentang guru menempatkan pekerjaan guru sebagai sebuah
profesi. Dan profesionalitas guru sesuai dengan produk hukum di atas ditempuh
melalui program sertifikasi guru. Mereka yang telah lulus sertifikasi guru
ditasbihkan sebagai guru profesional.
Altruisme berasal dari bahasa Latin, alter yang berarti
orang lain. Altruisme diartikan sebagai kewajiban yang ditujukan pada kebaikan
orang lain. Altruisme pada dasarnya dianjurkan oleh semua agama. Dalam Islam
ada ajaran yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna
bagi orang lain. Artinya keberadaannya dibutuhkan oleh orang lain. Menjadi
pencerah, tempat solusi bagi orang-orang disekitarnya. Diposisi manapun
individu yang altruis selalu menunjukkan kebaikan sebagaimana ajaran ing ngarso
sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Tergerusnya altruisme guru
Tiga syarat yang meliputi theoretical knowledge, self
regulated training and practice, dan authority of clients relatif mudah
dipenuhi oleh guru, namun syarat yang keempat yakni community rather than self
interest orientation susah untuk diwujudkan. Di era materialisme, hanya
manusia-manusia pilihan yang mampu menanggalkan motif pribadi dan orientasi
materi.
Tidak terpenuhinya seluruh syarat profesi menandakan bahwa profesi guru adalah profesi yang mulia, tidak sembarang individu mencapai derajat guru sejati.Yang mudah dicapai baru pada tataran guru administratif. Guru administratif tidak akan memiliki ruh dan ghiroh sebagaimana guru sejati.
Tidak terpenuhinya seluruh syarat profesi menandakan bahwa profesi guru adalah profesi yang mulia, tidak sembarang individu mencapai derajat guru sejati.Yang mudah dicapai baru pada tataran guru administratif. Guru administratif tidak akan memiliki ruh dan ghiroh sebagaimana guru sejati.
Ada banyak faktor yang menyebabkan tergerusnya altruisme
guru. Sebab-sebab itu dapat dilihat sebagai dampak yang sistemik, di sisi lain
faktor tersebut berwujud motif pribadi yakni peningkatan kesejahteraan. Dampak
yang sistemik utamanya karena faktor aturan yang “memaksa”. Misalnya Ujian
Nasional dan portofolio untuk sertifikasi guru yang tidak mudah. Adanya
produk-produk peraturan yang tidak mudah untuk dijangkau memaksa guru
melakukan”penyesuaian” dengan caranya sendiri. Dan selanjutnya mudah ditebak,
reaksi tersebut berpotensi menggerus kapasitas guru sebagai manusia yang baik.
Wilayah pendidikan mestinya wilayah suci yang mengajarkan nilai-nilai luhur yang include dalam setiap materi pelajaran. Azzumardi Azra pernah menyatakan bahwa apa yang dilihat atau yang terjadi di negara adalah apa yang dilihat dan terjadi di sekolah.
Wilayah pendidikan mestinya wilayah suci yang mengajarkan nilai-nilai luhur yang include dalam setiap materi pelajaran. Azzumardi Azra pernah menyatakan bahwa apa yang dilihat atau yang terjadi di negara adalah apa yang dilihat dan terjadi di sekolah.
Nilai adalah sesuatu yang kita peroleh dari perilaku atau usaha kita. Namun,
nilai perilaku jarang diperhitungkan. Apakah perilaku pada nilai rapor
diberikan sebagaimana mestinya? Rasanya nilai perilaku hanya formalitas
terpenuhinya nilai rapor dengan mencantumkan huruf A, B, atau C. Lain halnya dengan
nilai mata pelajaran. Apakah kita pernah mendengar syarat mendapat beasiswa
adalah nilai kerapihan, kejujuran, kedisiplinan, kerajinan minimal B? Kita
lebih sering mendengar, untuk syarat mendapatkan beasiswa minimal nilai
marematika, akutansi, geografi, fisika atau nilai eksak lainnya rata-rata 75.
Dengan giat, setiap siswa pun akan mengejar angka diatas 75. Bagaimana jika
seorang siswa tersebut dihadapkan dengan guru yang pelit? Siswa tersebut akan
berjuang mendapatkan nilai diatas 75 dengan menghalalkan segala cara. Banyak
siswa yang berpikir, “Belajar sampai malam belum tentu nilainya bagus, kalau open
book, pasti jawabannya bagus dan peluang mendapat nilai bagus pun terbuka
lebar.” Pernahkah kita membayangkan seorang guru memberikan nilai lebih dari
nilai KKM baik untuk siswa yang diremedial ataupun yang tidak? Mungkin semua
siswa tidak akan menghalalkan segala cara. Remedial terus menerus sampai
mendapat nilai sesuai KKM tidak salah, tetapi memberikan 3 poin diatas nilai
KKM sebagai nilai perjuangan remedial, apa salahnya?
Jika kita membuka kamus bahasa Inggris atau bahasa Indonesia dan mencari arti
kata remedial, remedial berarti perbaikan. Mari kita artikan sendiri apa yang
dimaksud dengan perbaikan. Banyak siswa yang dipusingkan dengan pengertian
remedial yang sebenarnya, dan tidak sedikit pula para guru yang salah
mengartikan arti remedial yang sebenarnya. Misalnya, kita remedial mata
pelajaran A. Guru mata pelajaran A menyuruh siswa yang mengikuti remedial
membeli barang. Apakah barang tersebut ada kaitannya dengan mata pelajaran A?
Walaupun ada, akan lebih baik apabila remedial tersebut berbentuk soal.
Bukannya pemerintah menyediakan anggaran untuk penunjang pembelajaran? Uang
bisa dicari, barang bisa dibeli, tapi ilmu tidak bisa dibeli. Ilmu mudah
didapat tapi sulit dimengerti. Apakah nilai yang kita inginkan dapat dibeli
dengan uang? Tak heran jika sekarang banyak para pejabat yang korupsi dan
melakukan money politic demi mendapatkan jabatan karena dari dulu mereka
diajarkan bahwa semuanya dapat dibeli dengan uang.
Seorang guru berhak memberikan nilai pada siswanya dan memberi tahu kriteria
penilaiannya. Tapi apakah seoarang guru pernah mengajarkan bagaimana seorang
siswa harus berjuang demi mendapat nilai darinya? Mungkin ada sebagian guru
yang mengajarkan itu semua, tapi seorang siswa juga memperhitungkan kebiasaan
guru tersebut. Jika guru itu malas membaca tugas para siswa dan hanya
membubuhkan tanda tangan sebagai pengahargaan bagi usaha siswa mengerjakan
tugas, para siswa juga cenderung mengerjakan tugas dengan asal-asalan dan
menyalinnya dari internet atau temannya tanpa mereka mengerti apa yang mereka
salin. Sebenarnya apa tujuan guru memberi tugas tersebut? Untuk nilai atau agar
siswanya mengerti materi yang ditugaskan? Kebanyakan para siswa akan memilih
pekerjaan instan, yaitu menyalin. Apa bedanya tanda tangan yang diberikan guru
untuk tugas seorang siswa yang menyalin tugasnya dari teman dengan hasilnya
sendiri? Apa istimewanya tanda tangan yang diberikan guru untuk tugas yang
dikerjakan asal-asalan dengan tugas yang dikerjakan sungguh-sungguh hingga
mereka mengerti?
Begitu sulit nilai yang harus kita kejar, begitu sulit nilai yang guru berikan pada kita, dan betapa sering kita kecewa akan nilai yang kita peroleh. Tidak jarang orang tua yang rela mengeluarkan uang agar anaknya mendapat nilai yang bagus dengan mengikuti tambahan. Dan tidak heran pula apabila guru mengadakan tambahan bagi siswanya. Tidak ada yang salah dengan guru yang memberikan tambahan pada siswanya, yang salah adalah seorang guru yang memberikan nilai lebih dan membocorkan soal dan jawaban ulangan pada siswa yang mengikuti tambahan dengannya. Sebenarnya tujuan guru memberikan tambahan untuk apa? Untuk mendapatkan uang atau membantu siswanya untuk lebih mengerti pelajaran? Tujuan siswa mengikuti tambahan itu untuk apa? Untuk mendapat nilai bagus atau lebih mengerti pelajaran. Kita dididik dengan cara yang salah, dan dengan cara yang salah pula kita akan membangun masa depan yang baik untuk diri kita sendiri tanpa mementingkan orang lain.
Setiap manusia terlahir dengan potensi masing-masing. Tanpa digali dan
dikembangakan potensi tersebut tidak ada apa-apanya. Menuntun manusia agar
potensinnya dapat menjadi sesuatu yang berharga adalah tugas seorang guru.
Walaupun ini adalah zaman KTSP, dimana seorang siswa harus lebih aktif
dibandingkan gurunya, tapi tetap saja tugas seorang adalah menerangkan dan
memberi nilai. Betapa bangganya seorang guru yang menerangkan suatu materi pada
siswanya, dan suatu hari nanti beliau dapat melihat siswanya sukses karena
materi yang beliau ajarkan. Dialah guru yang sukses, guru yang mengemban tugas
negara dengan baik. Lain halnya denga guru yang terus menerus menyuruh siswanya
belajar sendiri dengan membaca buku. Berarti apabila siswa tersebut sukses,
pengarang bukulah yang sukses karena berkat dia, siswa tersebut dapat sukses.
Tidak sedikit guru yang salah mengartikan apa itu KTSP. Apakah dalam KTSP
seorang guru hanya memberi tugas dan nilai saja? Ataukah dalam KTSP, seorang
siswa dituntut untuk bertanya apa yang tidak dimengerti dan guru tersebut akan
menjelaskannya untuk siswa yang bertanya saja? Banyak siswa yang dibiarkan
tidak bisa karena ia malu bertanya pada gurunya. Banyak guru yang menganggap
siswa yang tidak bertanya sudah bisa. Tak sedikit pula guru yang membiarkan
siswanya berperilaku seenaknya saat guru berada di kelas. Jangan salahkan siswa
sepenuhnya apabila saat ulangan terjadi kecurangan karena siswa tak tahu apa
yang harus mereka isi saat lembaran soal dibagikan. Bukankah guru itu
sendiri yang membiarkan siswa tersebut tidak bisa dan para siswa menganggap
guru itu selalu perhatian pada penanya dan menerangkan untuk penanya? Tak heran
apabila banyak anggota DPR yang tertidur saat pemimpinnya sedang berbicara
karena dari dulu mereka diajarkan bahwa orang yang berbicara itu bukan untuk
dirinya, tetapi untuk orang yang mengajukan pertanyaan pada pemimpin tersebut.
Selain manusia terlahir dengan potensinya masing-masing, setiap manusia juga
terlahir dengan kekurangannya masing-masing. Tidak ada yang salah dengan
kekurangan yang dimiliki orang lain, yang salah adalah saat kita tak pernah
berusaha melengkapi kekurangan orang lain tersebut. Kekurangan ada bukan untuk
kita remehkan, tetapi kekurangan ada untuk kita lengkapi. Bisa saja seorang
siswa kurang dalam pelajaran bahasa Inggris, tapi apakah sudah dapat dipastikan
bahwa siswa tersebut juga kurang dalam pelajaran bahasa Indonesia? Salah besar
jika seorang guru menganggap anak didiknya bodoh hingga beliau melontarkan
pertanyaan, “Selama SD, SMP, kalian ini belajar apa saja? Masa menghadapi soal
begini saja tidak bisa?” Harusnya beliau bertanya pada dirinya sendiri, “Sudah
berapa lama saya menjadi guru, dan sudah berapa kali saya menghadapi murid
seperti ini?”
Guru yang baik akan menghargai kekurangan dan kelebihan siswanya. Dan guru yang
mendukung siswanya adalah guru yang percaya akan kemampuan siswanya. Guru yang
membocorkan soal ulangan atau mengerjakan soal UN lalu menyebarluaskan kunci
jawabannya kepada siswanya, berarti guru tersebut tidak percaya dengan
kemampuan siswanya dan kemampuan dirinya dalam mengajar. Seharusnya guru
percaya pada siswanya bahwa mereka bisa dan pasti bisa. Dengan membocorkan kunci
jawaban atau membocorkan soal, sama saja dengan membuat para siswa berpikir
betapa sulitnya soal UN hingga para guru turun tangan dan para guru mengajarkan
siswanya untuk tidak jujur. Memang dibalik kesulitan itu pasti akan ada
kemudahan. Tapi mendapatkan kunci jawaban bukanlah kemudahan yang dimaksud. Itu
semua mengajarkan kita untuk berbuat tidak jujur dan tidak percaya dengan
kemampuan kita sendiri dan menyia-nyiakan alat indra yang Tuhan kasih kepada
kita.
Carut
marut di Tanah Air adalah proyeksi atas carut marut yang terjadi di sekolah.
Lalu siapa yang salah?, gurunya, kurikulumnya, atau sistemnya?. Menyalahkan
salah satu komponen tidaklah menyelesaikan masalah.
Guru sebagai ujung tombak pembelajaran sejatinya menjadi
kunci dalam transfer pengetahuan dan nilai-nilai luhur. Yang menjadi persoalan
adalah jika gurunya sendiri tergerus jiwa altruismenya bagaimana dapat
menanamkan nilai-nilai luhur tersebut kepada siswanya. Tergerusnya altruisme
guru menjadikan pembelajaran hambar, kehilangan elan vitalnya. Yang tercipta
hanyalah generasi-generasi kognitif yang (oleh St. Kartono) disebut generasi
yang besar kepalanya namun kerdil hatinya.
Meningkatkan pendidikan tidak cukup hanya memenuhi fasilitas
dan insfrastruktur tetapi juga faktor mental pendidik. Pendidikan yang bermutu
membutuhkan jiwa-jiwa altruis dari sang Guru. Salah satu pekerjaan rumah LPTK
(Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) dan pemerintah adalah bagaimana mendesain
calon-calon guru memiliki jiwa altruis yang kelak akan menjadi katalisator
peningkatan mutu pendidikan yang sesungguhnya.
Kejujuran memang pahit, tapi akan indah di akhir. Kejujuran
memang datang dari diri sendiri dan untuk diri sendiri pula, tapi tidak ada
salahnya mencontohkan kejujuran untuk orang lain dan mendidiknya untuk
berperilaku jujur. Betapa indahnya negara ini berkembang dengan kejujuran.
Tidak ada korupsi dan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dapat berarti sesuai
dengan arti yang sebenarnya. Tidak ada yang salah dengan kondisi bangsa ini
karena semenjak bersekolah kita mencontohkan perilaku yang tidak jujur dan
dididik untuk tidak jujur. Lihatlah, ilmu yang kita cari tidak bisa
mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Uang yang kita pakai untuk memperoleh nilai
ini tidak dapat mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Dan nilai
yang kita peroleh tak pernah bisa menggeser negara maju nomor 1 di dunia,
tetapi nilai yang kita peroleh telah mengantarkan bangsa ini menjadi negara
korupsi peringkat ke 4 di dunia. Walaupun kejujuran tak pernah bisa menggeser
negera maju nomor 1 di dunia dan mengantarkan negara ini menjadi negara maju,
tetapi setidaknya kejujuran dapat membuat bangsa ini menjadi bangsa yang makmur
dan sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar